Sumber: Jurnal MQ - Edisi Jan 2002
Telah menjadi sunnatullah, bahwa setiap orang yang memasuki pintu gerbang pernikahan, apakah ia pria atau wanita, apakah ia tua atau muda pada dasarnya semuanya ingin menciptakan pernikahan itu, menjadi sebuah rumah tangga dan keluarga yang bahagia dan sejahtera.
Keluarga yang baik pastilah merupakan suatu masyarakat yang ideal yang mewujudkan cita-cita yang baik dan melahirkan amal shaleh. Didalam keluarga seperti ini akan ditemukan kehangatan dan kasih sayang yang wajar, tiada rasa tertekan, tiada ancaman, dan jauh dari silang sengketa dan perselisihan. Jika si anak telah mencapai usia sekolah dan belajar dengan baik, seluruh potensinya dapat bertumbuh dan berkembang
seoptimal mungkin, ia belajar dengan penuh semangat dan gairah. Keluarga semacam ini akan tumbuh ketenangan bathin bagi seluruh anggota keluarganya, sehingga terciptanya sakinah dan ketenangan yang diliputi mawaddah warahma atau cinta dan kasih sayang.
Juga cinta orang beriman terhadap Allah. Pada QS.2:165 disana dinyatakan bahwa orang beriman itu amat sangat cinta kepada Allah SWT. Cinta kepada Allah mengatasi cinta kepada yang selain Allah. Cinta kepada Allah yang kemudian melahirkan sikap atau perilaku sanggup berkurban untuk yang dicintai itu.
Menurut seorang ulama, ibadah haji adalah perjalanan cinta. Manakala cinta memanggil untuk suatu perjalanan yang penuh rintangan sekalipun sekaligus untuk menunjukkan kesanggupan pengurbanan, dilakukanlah oleh orang-orang yang beriman itu ibadah haji. Ibadah haji, merupakan perjalanan cinta (rihlah mahabbah). Tetapi tentu saja bukan hanya ibadah haji yang merupakan jihad refleksi kecintaan kita kepada Allah. Masih banyak yang lainnya. Diantaranya, keluarga. Allah berfirman tentang hal itu:
"Katakan, jika orang tua kalian, anak-anak, saudara-saudara, istri suami kalian, kaum keluarga, harta kekayaan yang kamu usahakan dan khawatirkan kerugiannya serta rumah tinggal yang kamu sukai, kalau semua itu lebih kamu cintai dari pada Allah dan Rasul-Nya serta jihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusannya dan Allah tidak memberikan hidayah kepada orang-orang yang fasik." (QS.9:24).
Kalau kita sudah jatuh cinta, maka kita cenderung merasa memiliki sesuatu yang kita cintai itu. Kalau kita cinta keluarga kita 'merasa' memiliki keluarga maka kesibukan kita terarah kepada kepentingan keluarga tersebut. Kalau kita merasa memiliki rumah, maka kesibukan itu akan mengarah padanya. Demikianlah seterusnya. Maka kesibukan kita terhadap Allah yang semestinya merupakan kesibukan tertinggi dikalahkan oleh kesibukan kita kepada dunia, karena kita lebih cinta dunia.
Padahal, kita mestinya lebih cinta Allah, lebih merasa memiliki Allah dan lebih sibuk untuk-Nya. Itulah keluarga cinta Allah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar