Masa kejayaan  pengiriman surat secara konvensional sudah berlalu, namun bapak itu  tetap menjual amplop. Mungkin bapak itu tidak mengikuti perkembangan  zaman, apalagi perkembangan teknologi informasi yang serba cepat dan  instan, sehingga dia pikir masih ada orang yang membutuhkan amplop untuk  berkirim surat.  Kehadiran bapak tua dengan dagangannya yang tidak  laku-laku itu menimbulkan rasa iba. Siapa sih yang mau membeli amplopnya  itu? Tidak satupun orang yang lewat menuju masjid tertarik untuk  membelinya. Lalu lalang orang yang bergegas menuju masjid Salman seolah  tidak mempedulikan kehadiran bapak tua itu. 
Kemarin ketika hendak  shalat Jumat di Salman saya melihat bapak tua itu lagi sedang duduk  terpekur. Saya sudah berjanji akan membeli amplopnya itu usai shalat,  meskipun sebenarnya saya tidak terlalu membutuhkan benda tersebut. Yach,  sekedar ingin membantu bapak itu melariskan dagangannya. Seusai shalat  Jumat dan hendak kembali ke kantor, saya menghampiri bapak tadi. Saya  tanya berapa harga amplopnya dalam satu bungkusa plastik itu. “Seribu”,  jawabnya dengan suara lirih. Oh Tuhan, harga sebungkus amplop yang  isinnya sepuluh lembar itu hanya seribu rupiah? Uang sebesar itu hanya  cukup untuk membeli dua gorengan bala-bala pada pedagang gorengan di  dekatnya. Uang seribu rupiah yang tidak terlalu berarti bagi kita,  tetapi bagi bapak tua itu sangatlah berarti. Saya tercekat dan berusaha  menahan air mata keharuan mendengar harga yang sangat murah itu. “Saya  beli ya pak, sepuluh bungkus”, kata saya.  Bapak itu terlihat gembira  karena saya membeli amplopnya dalam jumlah banyak. Dia memasukkan  sepuluh bungkus amplop yang isinya sepuluh lembar per bungkusnya ke  dalam bekas kotak amplop. Tangannya terlihat bergetar ketika memasukkan  bungkusan amplop ke dalam kotak.  Saya bertanya kembali kenapa dia  menjual amplop semurah itu. Padahal kalau kita membeli amplop di warung  tidak mungkin dapat seratus rupiah satu. 
Dengan uang seribu mungkin  hanya dapat lima buah amplop. Bapak itu menunjukkan kepada saya lembar  kwitansi pembelian amplop di toko grosir. Tertulis di kwitansi itu nota  pembelian 10 bungkus amplop surat senilai Rp7500. “Bapak cuma ambil  sedikit”, lirihnya. Jadi, dia hanya mengambil keuntungan Rp250 untuk  satu bungkus amplop yang isinya 10 lembar itu. Saya jadi terharu  mendengar jawaban jujur si bapak tua. Jika pedagang nakal ‘menipu’ harga  dengan menaikkan harga jual sehingga keuntungan berlipat-lipat, bapak  tua itu hanya mengambil keuntungan yang tidak seberapa. 
Andaipun terjual  sepuluh bungkus amplop saja keuntungannya tidak sampai untuk membeli  nasi bungkus di pinggir jalan. Siapalah orang yang mau membeli amplop  banyak-banyak pada zaman sekarang? Dalam sehari belum tentu laku sepuluh  bungkus saja, apalagi untuk dua puluh bungkus amplop agar dapat membeli  nasi.    Setelah selesai saya bayar Rp10.000 untuk sepuluh bungkus  amplop, saya kembali menuju kantor. Tidak lupa saya selipkan sedikit  uang lebih buat bapak tua itu untuk membeli makan siang. Si bapak tua  menerima uang itu dengan tangan bergetar sambil mengucapkan terima kasih  dengan suara hampir menangis. Saya segera bergegas pergi  meninggalkannya karena mata ini sudah tidak tahan untuk meluruhkan air  mata. Sambil berjalan saya teringat status seorang teman di facebook  yang bunyinya begini: “bapak-bapak tua menjajakan barang dagangan yang  tak laku-laku, ibu-ibu tua yang duduk tepekur di depan warungnya yang  selalu sepi. Carilah alasan-alasan untuk membeli barang-barang dari  mereka, meski kita tidak membutuhkannya saat ini. Jangan selalu beli  barang di mal-mal dan toko-toko yang nyaman dan lengkap..”.    Si bapak  tua penjual amplop adalah salah satu dari mereka, yaitu para pedagang  kaki lima yang barangnya tidak laku-laku.
 Cara paling mudah dan  sederhana untuk membantu mereka adalah bukan memberi mereka uang, tetapi  belilah jualan mereka atau pakailah jasa mereka. Meskipun barang-barang  yang dijual oleh mereka sedikit lebih mahal daripada harga di mal dan  toko, tetapi dengan membeli dagangan mereka insya Allah lebih banyak  barokahnya, karena secara tidak langsung kita telah membantu  kelangsungan usaha dan hidup mereka.  Dalam pandangan saya bapak tua itu  lebih terhormat daripada pengemis yang berkeliaran di masjid Salman,  meminta-minta kepada orang yang lewat. 
Para pengemis itu mengerahkan  anak-anak untuk memancing iba para pejalan kaki. Tetapi si bapak tua  tidak mau mengemis, ia tetap kukuh berjualan amplop yang keuntungannya  tidak seberapa itu.  Di kantor saya amati lagi bungkusan amplop yang  saya beli dari si bapak tua tadi. Mungkin benar saya tidak terlalu  membutuhkan amplop surat itu saat ini, tetapi uang sepuluh ribu yang  saya keluarkan tadi sangat dibutuhkan si bapak tua.    Kotak amplop yang  berisi 10 bungkus amplop tadi saya simpan di sudut meja kerja. Siapa  tahu nanti saya akan memerlukannya. Mungkin pada hari Jumat pekan-pekan  selanjutnya saya akan melihat si bapak tua berjualan kembali di sana,  duduk melamun di depan dagangannya yang tak laku-laku. 
Oleh: Rinaldi  Munir, Bandung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar