Pagi itu ada yang aneh, baskom tempat ibu  menitipkan lontong isi oncom yang biasanya tak begitu berat tiba tiba  terasa membebani kepalaku yang memanggul lebih dari biasanya.Tubuhku  yang kecil di usia awal sebelas tahun serasa goyah memanggul tumpukan  nasi padat bulat yang terbungkus daun pisang berwarna hijau.
Setiap pagi karena bersekolah di siang hari, memang  sudah tugasku mengantar jualan ibu  untuk dititipkan di warung kantin  sebuah Sekolah  Pertanian Menengah Atas di tepi lembah kali  krukut, Selatan Jakarta. Lontong ibu ini bukan main larisnya, dengan  sambal kacang yang gurih dan pedas banyak murid-murid dikantin sekolah  menunggunya dipagi hari saat sekolah belum dimulai, untuk sekedar sarapan  .
Pipiku kadang habis di jawil para  siswa-siswi begitu tubuh gontaiku muncul dari balik tembok sekolah  menuju kantin. Biasanya, aku tak langsung kembali kerumah melainkan  bermain disekitar sekolah itu hingga pukul sepuluh pagi saat  siswa-siswi sekolah itu menyelesaikan istirahat pertama mereka.
Saking enaknya penganan buatan ibu tersebut hati  kecilku selalu berdoa agar lontong yang dijual tak habis tandas dibeli  supaya aku bisa menikmati sisanya, dan sayangnya doaku itu jarang  terkabul karena setiap jam sepuluh pagi saat kembali  kerumah, aku hanya mendapati baskom kosong dengan uang hasil penjualan  yang diberi ibu kantin untuk disampaikan pada ibu. Ibu bukannya tak  memberiku lontong enak itu, setiap pagi sebelum berangkat ia selalu  menyisihkan dua buah lontong untukku dengan sambal yang disisihkannya  pada piring kecil, tapi dua lontong terasa tak cukup bagiku untuk  menikmati kelezatannya.
Hari-hari berikutnya perjalanan ke kantin sekolah  itu terasa menyiksa, berat lontong diatas kepala makin membuat kepalaku  serasa terdesak kebawah, perjalanan selama dua puluh menit menjadi  sulit, hingga di hari ketiga aku sengaja tak mau bangun dari tidur  mengaku sakit.
Tak  ada rasa marah pada ibu, sebagai seorang istri  tentara yang bergaji pas pasan membuatnya tak pernah melontarkan  keluhan, sejak subuh pukul empat pagi ia menyiapkan semua keperluan  sekolah  adik dan kakakku yang sekolah pagi, suara air menggelegak  dari dandang yang mengkukus lontong selalu memecah pagi. Sambil menunggu  lontong itu matang, ibu memasukkan belahan pisang tanduk dengan terigu  kedalam penggorengan untuk kemudian di jual di warung depan rumah  kami, padahal malam sebelumnya ibu selalu tidur larut malam membungkus  lontong untuk dikukus esok paginya .
Jika aku tak menunggui jualan titipan ibu di kantin  sekolah dan kembali kerumah, dirumah selalu kutemui ibu yang menggerak  gerakan kakinya dipagi hari naik turun sehingga jarum jahit di mesinnya  naik turun merangkai potongan kain sehingga terbentuk menjadi sebuah  baju atau celana, beliau menerima beberapa permintaan menjahit dari orang  orang yang merasa cocok dengan jahitan ibu.
Beberapa hari ketika aku berpura-pura mengeluh  sakit, tapak tangan ibu rutin singgah ke keningku untuk memastikan aku  baik-baik saja, Ibu tampak memahami dan tak lagi menyuruhku membawa  lontong satu baskom yang biasanya ia minta aku mengantarnya. Pagi  semenjak aku mengeluh sakit, beliau sendiri yang mengantarnya dengan  meninggalkan beberapa pekerjaan rumah yang biasanya ia bisa kerjakan  ketika semua lontong itu aku antarkan. Sebetulnya aku ingin jujur pada  ibu bahwa aku tak sakit apapun, hanya merasa beban yang kubawa sedikit  lebih berat dari biasanya dan itupun sebetulnya masih dalam batas  sewajarnya. Namun aku memilih untuk menunggu sampai ibu mengurangi jumlah  jualan yang harus kubawa nantinya.
Di Jumat pagi ibu nampak gundah, kulihat lontong satu baskom  ia bawa kembali kerumah  meskipun waktu baru menunjuk pukul tujuh pagi. Rapat sekolah yang  mendadak dilakukan memaksa murid murid sekolah pertanian diliburkan padahal ibu sudah terlanjur membuat lontong seperti biasanya.
Ibu terduduk diam didepan mesin jahitnya, Ia nampak berpikir harus diapakan lontong sebegitu banyaknya sementara aku dari depan meja makan memperhatikan garis kegundahan itu.
“Nak , kesini sebentar!”ibu Memanggilku.
“Ya bu.”aku menghampiri ibu
“Bagaimana sepatu kamu, masih bisa dipakai?”ia tersenyum padaku, Aku terdiam,menggeleng.
“Mungkin hari ini solnya akan terlepas semua, senin aku tak punya sepatu bu!”
Ibu menghela nafas, ia menerawang entah apa yang  dipikirkan. Untuk sementara seluruh urusan dirumah ibu yang  memikirkan, karena ayah tengah bertugas di seberang pulau tanpa bisa  memberi tambahan apapun selain uang gaji dan uang lauk pauk.
“Ibu berusaha tambah jualan ibu seminggu ini, itu  kenapa lontong yang dibawa kemarin lebih banyak dari biasanya, tapi hari  ini sekolah malah libur padahal ibu punya rencana untuk besok ke Pasar  minggu mencari sepatu buat kamu. Hari ini lontong ini belum laku, ibu  minta maaf kalau sampai senin belum bisa belikan kamu sepatu!”Ia  menatapku mencoba meminta pengertianku.
Hari minggu sebelumnya,aku memang menghadap ibu dan  menunjukan sepatuku yang nyaris lepas alasnya karena usia pakai yang  sudah waktunya. Dan jumat pagi itu,aku menemukan alasan kenapa lontong  dalam baskom yang kubawa terasa lebih berat dari yang aku junjung, tak  seperti biasanya. Ibu ingin membelikan aku sepatu dan untuk itu ia  menambah jumlah jualannya setiap hari agar ada tambahan uang yang bisa  dipakai untuk membelikan sepatu.
Tubuhku yang semula masih saja berlagak terkulai  lemas mendadak sontak tegak. Rasa bersalah pada ibu membuatku memutar  otak untuk membantu bagaimana lontong ibu yang enak itu agar bisa  laku. Kusambar baskom yang semula berat itu lalu mencium tangan ibu untuk  membawanya kembali kesekolah menengah pertanian tempat biasanya kami  titipkan lontong itu.
Ibu mencegah dan bilang tak usah, namun aku tak mendengarkannya lagi. Sepanjang jalan kesekolah  itu aku teriakkan “Lontong ..Lontong !” , tanpa malu ,apalagi merasa  berat memanggulnya dikepala dan satu dua rumah yang kulalui menghentikan  langkahku untuk membeli. Perjalanan pulang pergi yang biasanya hanya  kulalui saja tanpa teriakkan , kali itu bagai penjaja jalanan aku  memberanikan diri menjual lontong di depan-depan rumah yang setiap hari  kulalui.
Tuhan maha baik, Lontong habis di dua pertiga  perjalanan, pagi yang dingin banyak membuat orang lapar dan bagi yang  belum sempat memasak sarapan, lontong ibu menjadi panganan yang lezat  dan tak perlu repot menyiapkan.
Aku kembali kerumah dengan baskom kosong, kali ini  tak ada doaku agar paling tidak lontong tersisa dan aku bisa memakan  sisanya, semua uang kuberikan pada ibu yang memelukku sedemikian eratnya.
Sore itu juga ibu pergi ke Pasar minggu, ia tak lagi  menunggu hingga Sabtu, ketika ia kembali menjelang petang, aku yang baru  kembali dari sekolah siang mendapati sepasang sepatu yang putih bersih  dengan tiga garis hijau berada ditepi tempat tidurku.
Kuciumi sepatu itu dan kuhampiri ibu yang sedang menjahit pakaian disudut ruang tengah.
“Ibu ,Terima kasih ..dan Maafkan aku!”   .
—–
Jauh hari setelahnya , disadari beban baskom  dikepala kecilku tak sebanding dengan beban ibu yang merelakan waktu  hidupnya dipersembahkan untuk keluarga dengan kerja keras dan ketulusan.
Andai Ia masih ada , hari Ibu bukanlah hari yang  istimewa karena hari-hari yang kita  lalui tak akan pernah ada tanpa  kehadirannya di hidup kita.
Datang dan sapalah bila ia masih ada dan kirimkan doa bila ia tak lagi menemani kita.
——
Untuk almarhum ibu, yang membantu ayah  berjuang membawa kami berhasil mengarungi hidup .
Tidak ada komentar:
Posting Komentar