DEFINISI
Suatu
kehamilan disebut kehamilan ektopik bila zigot terimplantasi di lokasi-lokasi
selain cavum uteri, seperti di ovarium, tuba, serviks, bahkan rongga abdomen.
Istilah kehamilan ektopik terganggu (KET) merujuk pada keadaan di mana timbul
gangguan pada kehamilan tersebut sehingga terjadi abortus maupun ruptur yang
menyebabkan penurunan keadaan umum pasien.
Lokasi-lokasi terjadinya Kehamilan Ektopik
ETIOLOGI DAN PATOGENESIS.
Kehamilan ektopik pada dasarnya
disebabkan segala hal yang menghambat perjalanan zigot menuju kavum uteri. Terdapat sejumlah faktor risiko yang menyebabkan
kerusakan dan disfungsi tuba. Meskipun ada tumpang tindih, faktor-faktor ini
dapat digeneralisasi sebagai faktor mekanis dan fungsional.
1.
Faktor mekanis
Faktor-faktor
ini menghalangi atau memperlambat perjalanan ovum yang telah dibuahi menuju ke
rongga uterus. Bedah tuba yang dilakukan sebelumnya, baik untuk memulihkan
patensi maupun melakukan sterilisasi, mempunyai risiko yang tertinggi untuk
terjadinya kehamilan ektopik pada tuba. Setelah terjadi sekali kehamilan ektopik, kemungkinan terjadinya kehamilan ektopik
selanjutnya adalah 7 sampai 15 persen.
Peningkatan risiko ini kemungkinan disebabkan oleh salpingitis yang terjadi
sebelumnya sehingga menyebabkan aglutinasi lipatan-lipatan mukosa yang
bercabang-cabang seperti pohon disertai penyempitan lumen atau pembentukan
kantong-kantong buntu. Berkurangnya silia akibat infeksi juga ikut andil pada
implantasi di tuba. Menurut American College
of Obstetricians and Gynecologists, penyakit radang panggul yang terjadi sebelumnya, terutama yang disebabkan oleh Chlamydia trachomatis,
merupakan faktor risiko yang paling lazim. Bjartling dkk. (2000) memperlihatkan bahwa puncak angka salpingitis di Malmo, Swedia, setara dengan
puncak angka kehamilan ektopik.
Perlekatan perituba yang terjadi
setelah infeksi pascaabortus atau masa
nifas, apendisitis, atau endometriosis dapat menyebabkan tuba tertekuk dan lumennya menyempit. Hal ini dapat sedikit meningkatkan risiko kehamilan ektopik yang terjadi
setelah induksi aborsi sebelumnya. Pajanan terhadap dietilstil‑bestrol (DES)
in utero dapat menjadi predisposisi timbulnya kelainan perkembangan tuba, khususnya divertikulum, ostium asesorius, dan hipoplasia. Akhirnya,
seksio sesarea yang dilakukan sebelumnya telah dikaitkan dengan peningkatan
kecil risiko kehamilan ektopik.
Beberapa faktor tuba memperlambat
perjalanan ovum yang telah dibuahi ke dalam rongga uterus. Perubahan
motilitas tuba dapat terjadi setelah terdapat perubahan kadar estrogen dan
progesteron serum, kemungkinan akibat upregulation receptor
adrenergik pada otot polos. Meningkatnya insidensi kehamilan ektopik telah dilaporkan pada penggunaan kontrasepsi oral
yang hanya berisi progestin, pada
penggunaan AKDR dengan dan tanpa progesterone, setelah penggunaan estrogen dosis
tinggi pascaovulasi untuk mencegah kehamilan ("morning after pill") dan setelah induksi ovulasi. Angka
kehamilan ektopik di tuba juga dilaporkan meningkat secara signifikan
pada wanita yang mengalami
defek fase luteal, wanita
perokok, dan wanita yang melakukan
vaginal douche.
3. Reproduksi dengan bantuan
Peningkatan kehamilan ektopik pada reproduksi dengan bantuan kemungkinan berkaitan
dengan faktor tuba yang menyebabkan infertilitas. Kehamilan di tuba meningkat setelah transfer gamet intrafalopii (GIFT) dan fertilisasi in vitro (IVF). Society
for Assisted Reproductive Technology dan American Society of Reproductive
Medicine menyebutkan insiden tahun 2000
untuk kehamilan semacam ini adalah 2,8 persen.
Implantasi "atipikal" lebih sering
terjadi setelah dilakukannya teknik-teknik
reproduksi dengan bantuan. Chen
dkk. (1998) melaporkan 11 kehamilan ektopik
setelah 1014 siklus IVF, dan 3 dari 11 di antaranya adalah implantasi di
kornu. Demikian pula, kehamilan
ekstratuba serta kehamilan tuba heterotipik juga meningkat setelah
dilakukan prosedur-prosedur ini. Berliner dkk. (1998) melaporkan kehamilan
kembar tiga heterotipik setelah induksi ovulasi clan inseminasi
intrauteri. Kehamilan serviks dan ovarium heterotipik juga pemah dilaporkan.
Kehamilan
abdominal pernah dilaporkan setelah transfer gamet
intrafalopii dan fertilisasi in vitro, kehamilan serviks mungkin meningkat
setelah fertilisasi invitro dan akhirnya kehamilan ovarium juga meningkat
setelah fertilisasi invitro.
Dengan bentuk
kontrasepsi apapun, jumlah kehamilan ektopik
sebenarnya rnenurun karena kehamilan akan lebih jarang terjadi. Namun, pada beberapa kegagalan kontrasepsi, terdapat
peningkatan insiden kehamilan ektopik dibandingkan dengan kehamilan
intrauteri. Contohnva antara lain adalah beberapa bentuk sterilisasi tuba dan pada wanita yang menggunakan AKDR atau
mengkonsumsi minipil yang berisi progestin saja. Kehamilan setelah sterilisasi
tuba mempunyai angka kehamilan ektopik Sembilan kali lipat angka tertinggi
terjadi pada fulgurasi laparoskopik. Kehamilan tuba juga kadang terjadi setelah
histerektomi.
FAKTOR-FAKTOR YANG
MEMPENGARUHI
- Kejadian
kehamilan ektopik dapat dipengaruhi oleh hal-hal berikut:
-
- Meningkatnya prevalensi
penyakit tuba karena penyakit menular seksual (PMS) sehingga terjadi oklusi
parsial tuba. Terjadinya salpingitis terutama radang pada endosalping
menyebabkan menyempitnya lumen tuba dan berkurangnya mukosa silia tuba karena
infeksi sehingga menyebabkan mudahnya impaltasi zigot di dalam tuba.
- - Adhesi peritubal yang terjadi
setelah infeksi seperti apendisitis atau endometriosis. Tuba dapat tertekuk
atau lumen menyempit.
-
- Pernah menderita kehamilan
ektopik sebelumnya meningkatkan kejadian kehamilan ektopik akibat salpingitis
yang terjadi sebelumnya.
-
- Meningkatnya penggunaan
kontrasepsi untuk mencegah kehamilan seperti AKDR atau KB suntik derivate
progestin
-
- Operasi memperbaiki patensi
tuba, kegagalan sterilisasi akan meningkatkan kejadian kehamilan ektopik.
-
- Abortus provokatus dengan
infeksi. Semakin tinggi tindakan abortus maka semakin tinggi kemungkinan
salpingintis.
-
- IVF, fertilisasi yang terjadi
karena obat pemicu ovulasi
-
- Tumor yang mengubah bentuk tuba
(mioma uteri dan tumor adeksa)
-
- Teknik diagnosis yang lebih
baru sehingga dapat meningkatkan deteksi dini kehamilan ektopik
GEJALA KEHAMILAN EKTOPIK
Kehamilan
ektopik basanya baru akan memberikan gejala yang jelas dank has kalau sudah
terganggu dan kehamilan ektopik yang masih utuh gejalanya sama dengan kehamilan
muda intrauterine. Jika kita berbicara mengenai kehamiln ektopik bisanya yang
dimaksud adalah kehamilan ektopik terganggu.
a.
Gejala Subjektif
Sebagian besar pasien
merasakan nyeri abdomen, keterlambatan menstruasi dan perdarahan per vaginam.
Nyeri yang diakibatkan ruptur tuba berintensitas tinggi dan terjadi secara
tiba-tiba. Penderita dapat jatuh pingsan dan syok. Nyeri akibat abortus tuba
tidak sehebat nyeri akibat ruptur tuba, dan tidak terus-menerus. Pada awalnya
nyeri terdapat pada satu sisi, tetapi setelah darah masuk ke rongga abdomen dan
merangsang peritoneum, nyeri menjadi menyeluruh. Perdarahan per vaginam berasal
dari pelepasan desidua dari kavum uteri dan dari abortus tuba. Umumnya
perdarahan tidak banyak dan berwarna coklat tua. Keterlambatan menstruasi
tergantung pada usia gestasi. Penderita mungkin tidak menyangka bahwa dirinya
hamil, atau menyangka dirinya hamil normal, atau mengalami keguguran (abortus
tuba). Sebagian penderita tidak mengeluhkan keterlambatan haid karena kematian
janin terjadi sebelum haid berikutnya. Kadang-kadang pasien merasakan nyeri
yang menjalar ke bahu. Hal ini disebabkan iritasi diafragma oleh
hemoperitoneum.
Jadi disimpulkan bahwa
gejala yang penting:
-
Nyeri perut
-
Amenore
-
Pendarahan pervaginam
-
Syok karena hipovolemik
-
Pembesaran uterus
-
Tumor dalam rongga panggul
-
Perubahan darah
Kehamilan abdominal
biasanya baru didiagnosis kalau kehamilan sudah agak lanjut. , antara lain:
-
Pada kehamilan abdominal gejala
yang timbul sama dengan tanda kehamilan biasa tetapi pada kehamilan abdominal
bisanya pasien lebih enderita karena perangsangan peritoneum, misalnya sering
mual, gembung perut, obstipasi atau diare dan nyeri perut sering dikeluhkan.
-
Pada kehamilan abdominal
sekunder, mungkin pasien pernah mengalami nyeri perut hebat disertai pusing
atau pingsan, yaitu waktu terjadinya rupture tuba.
-
Tumor yang mengandung anak
tidak pernah mengeras karena tidak ada kontraksi Braxton Hiks.
-
Pergerakan anak dirasakan
dengan nyeri oleh ibu
-
BJA lebih jelas terdengar
-
Bangian anak lebih mudah teraba
karena hanya dipisahkan oleh dinding perut ibu
-
Foto rongen, USG abdomen
terlihat adanya letak paksa
-
Foto lateral terlihat janin
menutupi vertebra ibu
-
Uterus kosong saat dilakukan
pemeriksaan dalam
b.
Temuan objektif
Pada kasus-kasus yang
dramatis, sering kali pasien datang dalam keadaan umum yang buruk karena syok.
Tekanan darah turun dan frekuensi nadi meningkat. Darah yang masuk ke dalam
rongga abdomen akan merangsang peritoneum, sehingga pada pasien ditemukan
tanda-tanda rangsangan peritoneal (nyeri tekan, nyeri ketok, nyeri lepas,
defense musculaire). Bila perdarahan berlangsung lamban dan gradual, dapat
dijumpai tanda anemia pada pasien. Hematosalping akan teraba sebagai tumor di
sebelah uterus. Dengan adanya hematokel retrouterina, kavum Douglas teraba
menonjol dan nyeri pada pergerakan (nyeri goyang porsio). Di samping itu dapat
ditemukan tanda-tanda kehamilan, seperti pembesaran uterus.
DIAGNOSIS
-
Diagnosis kehamilan ektopik
terganggu tentunya ditegakkan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang. KET harus dipikirkan bila seorang pasien dalam usia
reproduktif mengeluhkan nyeri perut bawah yang hebat dan tiba-tiba, ataupun
nyeri perut bawah yang gradual, disertai keluhan perdarahan per vaginam setelah
keterlambatan haid, dan pada pemeriksaan fisik ditemukan tanda-tanda akut
abdomen, kavum Douglas menonjol, nyeri goyang porsio, atau massa di samping
uterus. Adanya riwayat penggunaan AKDR, infeksi alat kandungan, penggunaan pil
kontrasepsi progesteron dan riwayat operasi tuba serta riwayat faktor-faktor
risiko lainnya memperkuat dugaan KET. Namun sebagian besar pasien menyangkal
adanya faktor-faktor risiko tersebut di atas.
-
Bila pada pemeriksaan
ultrasonografi ditemukan kantong gestasi dengan denyut jantung janin dengan
kavum uteri yang kosong, maka diagnosis pasti dapat ditegakkan. USG
transvaginal dapat mendeteksi tubal ring (massa berdiameter 1-3 cm dengan pinggir
ekhogenik yang mengelilingi pusat yang hipoekhoik); gambaran tersebut cukup
spesifik untuk kehamilan ektopik. USG transvaginal juga memungkinkan evaluasi
kavum pelvis dengan lebih baik, termasuk visualisasi cairan di kavum Douglas
dan massa pelvis.
-
Kadar hCG membantu penegakan
diagnosis, meskipun tidak ada konsensus mengenai kadar hCG yang sugestif untuk
kehamilan ektopik. Kehamilan ektopik dapat dibedakan dari kehamilan normal
dengan pemeriksaan kadar hCG secara serial. Pada usia gestasi 6-7 minggu, kadar
hCG serum meningkat dua kali lipat setiap 48 jam pada kehamilan intrauterin
normal. Peningkatan yang subnormal (< 66%) dijumpai pada 85% kehamilan yang
nonviable, dan peningkatan sebanyak 20% sangat prediktif untuk kehamilan
nonviable. Fenomena ini, bila disertai dengan terdeteksinya kavum uteri yang
kosong, mengindikasikan adanya kehamilan ektopik. Secara klinis, penegakan
diagnosis KET dengan pemantauan kadar hCG serial tidak praktis, karena dapat
mengakibatkan keterlambatan diagnosis. Selain itu, peningkatan kadar hCG serum
dua kali lipat setiap 48 jam tidak lagi terjadi setelah minggu ke-7 kehamilan.
Oleh sebab itu, umumnya yang diperiksakan adalah hCG kualitatif untuk diagnosis
cepat kehamilan.
-
Selain itu untuk mengetahui
adanya cairan didalam cavum Douglas juga dapat digunakan metode kuldosentesis
atau Douglas punksi (+/-). Namun dengan adanya USG dan pemeriksaan kadar hCG
yang lebih akurat, kuldosentesis sudah tidak terlalu sering dilakukan. Meskipun
demikian, tindakan tersebut masih dilakukan bila tidak ada fasilitas USG atau
bila pada pemeriksaan USG kantong gestasi tidak berhasil terdeteksi.
-
Kadar progesteron pada
kehamilan nonviable memang menurun, namun penurunan kadar progesteron tersebut
tidak dapat membedakan kehamilan ektopik dari abortus insipiens.
-
Diagnosis juga dapat ditegakkan
secara bedah (surgical diagnosis). Kuretase dapat dikerjakan untuk membedakan
kehamilan ektopik dari abortus insipiens atau abortus inkomplet. Kuretase
tersebut dianjurkan pada kasus-kasus di mana timbul kesulitan membedakan
abortus dari kehamilan ektopik dengan kadar progesteron serum di bawah 5 ng/ml,
β-hCG meningkat abnormal (< 2000 mU/mL) dan kehamilan uterin tidak
terdeteksi dengan USG transvaginal. Diagnosis secara bedah juga dapat dilakukan
dengan laparoskopi dan laparotomi. Laparotomi umumnya dikerjakan bila keadaan
hemodinamik pasien tidak stabil.
PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan kehamilan
ektopik tergantung pada beberapa hal, antara lain lokasi kehamilan dan tampilan
klinis. Sebagai contoh, penatalaksanaan kehamilan tuba berbeda dari
penatalaksanaan kehamilan abdominal. Selain itu, perlu dibedakan pula
penatalaksanaan kehamilan ektopik yang belum terganggu dari kehamilan ektopik
terganggu. Tentunya penatalaksanaan pasien dengan kehamilan ektopik yang belum
terganggu berbeda dengan penatalaksanaan pasien dengan kehamilan ektopik
terganggu yang menyebabkan syok.
Seorang pasien yang
terdiagnosis dengan kehamilan tuba dan masih dalam kondisi baik dan tenang,
memiliki 3 pilihan, yaitu penatalaksanaan ekspektasi (expectant management),
penatalaksanaan medis dan penatalaksanaan bedah.
1.
Penatalaksanaan Ekspektasi
Penatalaksanaan
ekspektasi didasarkan pada fakta bahwa sekitar 75% ß-hCG pasien dengan
kehamilan ektopik akan mengalami penurunan kadar. Pada penatalaksanaan
ekspektasi, kehamilan ektopik dini dengan kadar ß-hCG yang stabil atau
cenderung turun diobservasi ketat. Oleh sebab itu, tidak semua pasien dengan
kehamilan ektopik dapat menjalani penatalaksanaan seperti ini. Penatalaksanaan
ekspektasi dibatasi pada yang keadaan-keadaan berikut:
a) kehamilan ektopik dengan kadar ß-hCG
menurun
b) kehamilan tuba
c) tidak ada perdarahan intraabdominal atau
rupture
d) diameter massa ektopik tidak melebihi 3.5
cm. Sumber ß-hCG awal harus kurang dari 1000 mIU/mL, sumber lain menyebutkan bahwa
kadar dan diameter massa ektopik tidak
melebihi 3.0 cm. Dikatakan bahwa penatalaksanaan ekspektasi ini efektif pada
47-82% kehamilan tuba.
Penatalaksanaan Medis
Pada penatalaksanaan
medis digunakan zat-zat yang dapat merusak integritas jaringan dan sel hasil
konsepsi. Kandidat-kandidat penerima tatalaksana medis harus memiliki
syarat-syarat berikut ini: keadaan hemodinamik yang stabil, bebas nyeri perut
bawah, tidak ada aktivitas jantung janin, tidak ada cairan bebas dalam rongga
abdomen dan kavum Douglas, harus teratur menjalani terapi, harus menggunakan
kontrasepsi yang efektif selama 3-4 bulan pascaterapi, tidak memiliki
penyakit-penyakit penyerta, sedang tidak menyusui, tidak ada kehamilan
intrauterin yang koeksis, memiliki fungsi ginjal, hepar dan profil darah yang
normal, serta tidak memiliki kontraindikasi terhadap pemberian methotrexate.
Berikut ini akan dibahas beberapa metode terminasi kehamilan ektopik secara
medis.
·
Methotrexate
Methotrexate adalah obat sitotoksik yang
sering digunakan untuk terapi keganasan, termasuk penyakit trofoblastik ganas.
Pada penyakit trofoblastik, methotrexate akan merusak sel-sel trofoblas, dan
bila diberikan pada pasien dengan kehamilan ektopik, methotrexate diharapkan
dapat merusak sel-sel trofoblas sehingga menyebabkan terminasi kehamilan
tersebut. Seperti halnya dengan penatalaksanaan medis untuk kehamilan ektopik
pada umumnya, kandidat-kandidat untuk terapi methotrexate harus stabil secara
hemodinamis dengan fungsi ginjal, hepar dan profil darah yang normal.
Harus diketahui pula bahwa terapi
methotrexate maupun medis secara umum mempunyai angka kegagalan sebesar 5-10%,
dan angka kegagalan meningkat pada usia gestasi di atas 6 minggu atau bila
massa hasil konsepsi berdiameter lebih dari 4 cm. Pasien harus diinformasikan
bahwa bila terjadi kegagalan terapi medis, pengulangan terapi diperlukan, dan
pasien harus dipersiapkan untuk kemungkinan menjalani pembedahan. Selain itu,
tanda-tanda kehamilan ektopik terganggu harus selalu diwaspadai. Bila hal
tersebut terjadi, pasien harus sesegera mungkin menjalani pembedahan. Senggama
dan konsumsi asam folat juga dilarang. Tentunya methotrexate menyebabkan
beberapa efek samping yang harus diantisipasi, antara lain gangguan fungsi
hepar, stomatitis, gastroenteritis dan depresi sumsum tulang.
Beberapa prediktor keberhasilan terapi
dengan methotrexate yang disebutkan dalam literatur antara lain aktivitas
jantung janin, ukuran massa hasil konsepsi dan ada/tidaknya cairan bebas dalam
rongga peritoneum. Namun disebutkan dalam sumber kadar ß-hCG-lah yang bermakna
secara statistik. Untuk memantau keberhasilan terapi, dilakukan pemeriksaan
serial beta-hCG. Pemeriksaan dilakukan pada hari-hari pertama setelah
dimulainya pemberian methotrexate, 65-75% pasien akan mengalami nyeri abdomen
yang diakibatkan pemisahan hasil konsepsi dari tempat implantasinya (separation
pain), dan hematoma yang meregangkan dinding tuba. Nyeri ini dapat diatasi dengan
analgetik. beta-hCG umumnya tidak terdeteksi lagi dalam 14-21 hari. setelah pemberian methotrexate. Pada
hari-hari pertama pula massa hasil konsepsi akan tampak membesar pada
pencitraan ultrasonografi akibat edema dan hematoma, sehingga jangan dianggap
sebagai kegagalan terapi. Setelah terapi berhasil ß-hCG masih perlu diawasi
setiap minggunya hingga kadarnya di bawah 5 mIU/mL.
Methotrexate dapat diberikan dalam dosis
tunggal maupun dosis multipel. Dosis tunggal yang diberikan adalah 50 mg/m2
(intramuskular), sedangkan dosis multipel yang diberikan adalah sebesar 1 mg/kg
(intramuskular) pada hari pertama, ke-3, 5, dan hari ke-7. Pada terapi dengan
dosis multipel leukovorin ditambahkan ke dalam regimen pengobatan dengan dosis
0.1 mg/kg (intramuskular), dan diberikan pada hari ke-2, 4, 6 dan 8. Terapi
methotrexate dosis multipel tampaknya memberikan efek negatif pada patensi tuba
dibandingkan dengan terapi methotrexate dosis tunggal 9. Methotrexate dapat
pula diberikan melalui injeksi per laparoskopi tepat ke dalam massa hasil
konsepsi. Terapi methotrexate dosis tunggal adalah modalitas terapeutik paling
ekonomis untuk kehamilan ektopik yang belum terganggu.
·
Actinomycin
Neary dan Rose melaporkan bahwa pemberian
actinomycin intravena selama 5 hari berhasil menterminasi kehamilan ektopik
pada pasien-pasien dengan kegagalan terapi methotrexate sebelumnya.
·
Larutan Glukosa Hiperosmolar
Injeksi larutan glukosa hiperosmolar per
laparoskopi juga merupakan alternatif terapi medis kehamilan tuba yang belum
terganggu. Yeko dan kawan-kawan melaporkan keberhasilan injeksi larutan glukosa
hiperosmolar dalam menterminasi kehamilan tuba. Namun pada umumnya injeksi
methotrexate tetap lebih unggul. Selain itu, angka kegagalan dengan terapi
injeksi larutan glukosa tersebut cukup tinggi, sehingga alternatif ini jarang
digunakan.
2.
Penatalaksanaan Bedah
Penatalaksanaan bedah
dapat dikerjakan pada pasien-pasien dengan kehamilan tuba yang belum terganggu
maupun yang sudah terganggu. Tentu saja pada kehamilan ektopik terganggu, pembedahan
harus dilakukan secepat mungkin. Pada dasarnya ada 2 macam pembedahan untuk
menterminasi kehamilan tuba, yaitu pembedahan konservatif, di mana integritas tuba dipertahankan, dan pembedahan radikal, di mana salpingektomi
dilakukan. Pembedahan konservatif mencakup 2 teknik yang kita kenal sebagai
salpingostomi dan salpingotomi. Selain itu, macam-macam pembedahan tersebut di
atas dapat dilakukan melalui laparotomi maupun laparoskopi. Namun bila pasien
jatuh ke dalam syok atau tidak stabil, maka tidak ada tempat bagi pembedahan
per laparoskopi.
a. Salpingostomi
Salpingostomi adalah
suatu prosedur untuk mengangkat hasil konsepsi yang berdiameter kurang dari 2
cm dan berlokasi di sepertiga distal tuba fallopii. Pada prosedur ini dibuat
insisi linear sepanjang 10-15 mm pada tuba tepat di atas hasil konsepsi, di
perbatasan antimesenterik. Setelah insisi hasil konsepsi segera terekspos dan
kemudian dikeluarkan dengan hati-hati. Perdarahan yang terjadi umumnya sedikit
dan dapat dikendalikan dengan elektrokauter. Insisi kemudian dibiarkan terbuka
(tidak dijahit kembali) untuk sembuh per sekundam. Prosedur ini dapat dilakukan
dengan laparotomi maupun laparoskopi. Metode per laparoskopi saat ini menjadi
gold standard untuk kehamilan tuba yang belum terganggu. Sebuah penelitian di
Israel membandingkan salpingostomi per laparoskopi dengan injeksi methotrexate
per laparoskopi. Durasi pembedahan pada grup salpingostomi lebih lama daripada
durasi pembedahan pada grup methotrexate, namun grup salpingostomi menjalani
masa rawat inap yang lebih singkat dan insidens aktivitas trofoblastik
persisten pada grup ini lebih rendah. Meskipun demikian angka keberhasilan
terminasi kehamilan tuba dan angka kehamilan intrauterine setelah kehamilan
tuba pada kedua grup tidak berbeda secara bermakna.
b. Salpingotomi
Pada dasarnya prosedur
ini sama dengan salpingostomi, kecuali bahwa pada salpingotomi insisi dijahit
kembali. Beberapa literatur menyebutkan bahwa tidak ada perbedaan bermakna
dalam hal prognosis, patensi dan perlekatan tuba pascaoperatif antara
salpingostomi dan salpingotomi.
c. Salpingektomi
Reseksi tuba dapat dikerjakan baik pada
kehamilan tuba yang belum maupun yang sudah terganggu, dan dapat dilakukan
melalui laparotomi maupun laparoskopi. Salpingektomi diindikasikan pada
keadaan-keadaan berikut ini: 1) kehamilan ektopik mengalami ruptur (terganggu),
2) pasien tidak menginginkan fertilitas pascaoperatif, 3) terjadi kegagalan
sterilisasi, 4) telah dilakukan rekonstruksi atau manipulasi tuba sebelumnya,
5) pasien meminta dilakukan sterilisasi, 6) perdarahan berlanjut
pascasalpingotomi, 7) kehamilan tuba berulang, 8) kehamilan heterotopik, dan 9)
massa gestasi berdiameter lebih dari 5 cm. Reseksi massa hasil konsepsi dan
anastomosis tuba kadang-kadang dilakukan pada kehamilan pars ismika yang belum
terganggu. Metode ini lebih dipilih daripada salpingostomi, sebab salpingostomi
dapat menyebabkan jaringan parut dan penyempitan lumen pars ismika yang
sebenarnya sudah sempit. Pada kehamilan pars interstitialis, sering kali dilakukan
pula histerektomi untuk menghentikan perdarahan masif yang terjadi. Pada
salpingektomi, bagian tuba antara uterus dan massa hasil konsepsi diklem,
digunting, dan kemudian sisanya (stump) diikat dengan jahitan ligasi. Arteria
tuboovarika diligasi, sedangkan arteria uteroovarika dipertahankan. Tuba yang
direseksi dipisahkan dari mesosalping.
d. Evakuasi Fimbrae dan Fimbraektomi
Bila terjadi kehamilan di fimbrae, massa
hasil konsepsi dapat dievakuasi dari fimbrae tanpa melakukan fimbraektomi.
Dengan menyemburkan cairan di bawah tekanan dengan alat aquadisektor atau
spuit, massa hasil konsepsi dapat terdorong dan lepas dari implantasinya.
Fimbraektomi dikerjakan bila massa hasil konsepsi berdiameter cukup besar
sehingga tidak dapat diekspulsi dengan cairan bertekanan.
KOMPLIKASI
Komplikasi yang dapat terjadi yaitu:
- Pada pengobatan konservatif, yaitu bila kehamilan ektopik terganggu telah lama berlangsung (4-6 minggu), terjadi perdarahan ulang, Ini merupakan indikasi operasi.
- Infeksi
- Sterilitas
- Pecahnya tuba falopii
- Komplikasi juga tergantung dari lokasi tumbuh berkembangnya embrio
- Pada pengobatan konservatif, yaitu bila kehamilan ektopik terganggu telah lama berlangsung (4-6 minggu), terjadi perdarahan ulang, Ini merupakan indikasi operasi.
- Infeksi
- Sterilitas
- Pecahnya tuba falopii
- Komplikasi juga tergantung dari lokasi tumbuh berkembangnya embrio
PROGNOSIS
Kematian karena kehamilan
ektopik terganggu cenderung turun dengan diagnosis dini dengan persediaan darah
yang cukup. Tetapi bila pertolongan terlambat, angka kematian dapat tinggi. Penderita mempunyai kemungkinan yang
lebih besar untuk mengalami kehamilan ektopik kembali. Selain itu, kemungkinan
untuk hamil akan menurun. Hanya 60% wanita yang pernah mengalami kehamilan
ektopik terganggu dapat hamil lagi, walaupun angka kemandulannya akan jadi
lebih tinggi. Angka kehamilan ektopik yang berulang dilaporkan berkisar antara
0 – 14,6%. Kemungkinan melahirkan bayi cukup bulan adalah sekitar 50%.