Senin, 28 April 2014

Kehamilan Ektopik




DEFINISI
Suatu kehamilan disebut kehamilan ektopik bila zigot terimplantasi di lokasi-lokasi selain cavum uteri, seperti di ovarium, tuba, serviks, bahkan rongga abdomen. Istilah kehamilan ektopik terganggu (KET) merujuk pada keadaan di mana timbul gangguan pada kehamilan tersebut sehingga terjadi abortus maupun ruptur yang menyebabkan penurunan keadaan umum pasien.

 Lokasi-lokasi terjadinya Kehamilan Ektopik


ETIOLOGI DAN PATOGENESIS.
Kehamilan ektopik pada dasarnya disebabkan segala hal yang menghambat perjalanan zigot menuju kavum uteri. Terdapat sejum­lah faktor risiko yang menyebabkan kerusakan dan disfungsi tuba. Meskipun ada tumpang tindih, faktor-faktor ini dapat digeneralisasi sebagai faktor mekanis dan fungsional.
1.      Faktor mekanis
Faktor-faktor ini menghalangi atau memperlambat perjalanan ovum yang telah dibuahi menuju ke rongga uterus. Bedah tuba yang dilakukan sebelumnya, baik untuk memulihkan patensi maupun melakukan sterilisasi, mempunyai risiko yang tertinggi untuk terjadinya kehamilan ektopik pada tuba. Setelah terjadi sekali kehamilan ektopik, kemungkinan terjadinya kehamilan ekto­pik selanjutnya adalah 7 sampai 15 persen. Peningkatan risiko ini kemungkinan disebabkan oleh salpingitis yang ter­jadi sebelumnya sehingga menyebabkan aglutinasi lipatan-lipatan mukosa yang bercabang-cabang se­perti pohon disertai penyempitan lumen atau pem­bentukan kantong-kantong buntu. Berkurangnya silia akibat infeksi juga ikut andil pada implantasi di tuba. Menurut American College of Obstetricians and Gynecologists, pe­nyakit radang panggul yang terjadi sebelumnya, terutama yang disebabkan oleh Chlamydia tracho­matis, merupakan faktor risiko yang paling lazim. Bjartling dkk. (2000) memperlihatkan bahwa puncak angka salpingitis di Malmo, Swedia, setara dengan puncak angka kehamilan ektopik. Perlekatan peri­tuba yang terjadi setelah infeksi pascaabortus atau masa nifas, apendisitis, atau endometriosis dapat menyebabkan tuba tertekuk dan lumennya me­nyempit. Hal ini dapat sedikit meningkatkan risiko kehamilan ektopik yang terjadi setelah induksi aborsi sebelumnya. Pajanan terhadap dietilstil‑bestrol (DES) in utero dapat menjadi predisposisi timbulnya kelainan perkembangan tuba, khususnya diverti­kulum, ostium asesorius, dan hipoplasia. Akhirnya, seksio sesarea yang dilakukan sebelumnya telah dikaitkan dengan peningkatan kecil risiko kehamilan ektopik.

2. Faktor Fungsional
Beberapa faktor tuba mem­perlambat perjalanan ovum yang telah dibuahi ke dalam rongga uterus. Perubahan motilitas tuba da­pat terjadi setelah terdapat perubahan kadar estro­gen dan progesteron serum, kemungkinan akibat upregulation receptor adrenergik pada otot polos. Meningkatnya insidensi  keha­milan ektopik telah dilaporkan pada penggunaan kontrasepsi oral yang hanya berisi progestin,  pada penggunaan AKDR dengan dan tanpa progesterone, setelah penggunaan estro­gen dosis tinggi pascaovulasi untuk mencegah keha­milan ("morning after pill") dan setelah induksi ovu­lasi. Angka kehamilan ektopik di tuba juga dilaporkan meningkat secara signifikan pada wanita yang mengalami defek fase luteal, wanita perokok, dan wanita yang melakukan vaginal douche.

     3. Reproduksi dengan bantuan
Peningkatan ke­hamilan ektopik pada reproduksi dengan bantuan kemungkinan berkaitan dengan faktor tuba yang menyebabkan infertilitas. Kehamilan di tuba me­ningkat setelah transfer gamet intrafalopii (GIFT) dan fertilisasi in vitro (IVF). Society for Assisted Re­productive Technology dan American Society of Repro­ductive Medicine menyebutkan insiden tahun 2000 untuk kehamilan semacam ini adalah 2,8 persen.
Implantasi "atipikal" lebih sering terjadi setelah dilakukannya teknik-teknik reproduksi dengan ban­tuan. Chen dkk. (1998) melaporkan 11 kehamilan ektopik setelah 1014 siklus IVF, dan 3 dari 11 di an­taranya adalah implantasi di kornu. Demikian pula, kehamilan ekstratuba serta kehamilan tuba hetero­tipik juga meningkat setelah dilakukan prosedur-­prosedur ini. Ber­liner dkk. (1998) melaporkan kehamilan kembar tiga heterotipik setelah induksi ovulasi clan inseminasi intrauteri. Kehamilan serviks dan ovarium hetero­tipik juga pemah dilaporkan.
Kehamilan abdominal pernah dilaporkan setelah transfer gamet intrafalopii dan fertilisasi in vitro, kehamilan serviks mungkin meningkat setelah fertilisasi invitro dan akhirnya kehamilan ovarium juga meningkat setelah fertilisasi invitro. 

4. Kegagalan kontrasepsi
Dengan bentuk kontra­sepsi apapun, jumlah kehamilan ektopik sebenarnya rnenurun karena kehamilan akan lebih jarang terjadi. Namun, pada beberapa kegagalan kontrasepsi, ter­dapat peningkatan insiden kehamilan ektopik di­bandingkan dengan kehamilan intrauteri. Contoh­nva antara lain adalah beberapa bentuk sterilisasi tuba dan pada wanita yang menggunakan AKDR atau mengkonsumsi minipil yang berisi progestin saja. Kehamilan setelah sterilisasi tuba mempunyai angka kehamilan ektopik Sembilan kali lipat angka tertinggi terjadi pada fulgurasi laparoskopik. Kehamilan tuba juga kadang terjadi setelah histerektomi.

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI
- Kejadian kehamilan ektopik dapat dipengaruhi oleh hal-hal berikut:
-               - Meningkatnya prevalensi penyakit tuba karena penyakit menular seksual (PMS) sehingga terjadi   oklusi parsial tuba. Terjadinya salpingitis terutama radang pada endosalping menyebabkan menyempitnya lumen tuba dan berkurangnya mukosa silia tuba karena infeksi sehingga menyebabkan mudahnya impaltasi zigot di dalam tuba.
-          - Adhesi peritubal yang terjadi setelah infeksi seperti apendisitis atau endometriosis. Tuba dapat tertekuk atau lumen menyempit.
-          - Pernah menderita kehamilan ektopik sebelumnya meningkatkan kejadian kehamilan ektopik akibat salpingitis yang terjadi sebelumnya.
-          - Meningkatnya penggunaan kontrasepsi untuk mencegah kehamilan seperti AKDR atau KB suntik derivate progestin
-          - Operasi memperbaiki patensi tuba, kegagalan sterilisasi akan meningkatkan kejadian kehamilan ektopik.
-          - Abortus provokatus dengan infeksi. Semakin tinggi tindakan abortus maka semakin tinggi kemungkinan salpingintis.
-          - IVF, fertilisasi yang terjadi karena obat pemicu ovulasi
-           - Tumor yang mengubah bentuk tuba (mioma uteri dan tumor adeksa)
-          - Teknik diagnosis yang lebih baru sehingga dapat meningkatkan deteksi dini kehamilan ektopik

      
GEJALA KEHAMILAN EKTOPIK
Kehamilan ektopik basanya baru akan memberikan gejala yang jelas dank has kalau sudah terganggu dan kehamilan ektopik yang masih utuh gejalanya sama dengan kehamilan muda intrauterine. Jika kita berbicara mengenai kehamiln ektopik bisanya yang dimaksud adalah kehamilan ektopik terganggu.

a.       Gejala Subjektif
Sebagian besar pasien merasakan nyeri abdomen, keterlambatan menstruasi dan perdarahan per vaginam. Nyeri yang diakibatkan ruptur tuba berintensitas tinggi dan terjadi secara tiba-tiba. Penderita dapat jatuh pingsan dan syok. Nyeri akibat abortus tuba tidak sehebat nyeri akibat ruptur tuba, dan tidak terus-menerus. Pada awalnya nyeri terdapat pada satu sisi, tetapi setelah darah masuk ke rongga abdomen dan merangsang peritoneum, nyeri menjadi menyeluruh. Perdarahan per vaginam berasal dari pelepasan desidua dari kavum uteri dan dari abortus tuba. Umumnya perdarahan tidak banyak dan berwarna coklat tua. Keterlambatan menstruasi tergantung pada usia gestasi. Penderita mungkin tidak menyangka bahwa dirinya hamil, atau menyangka dirinya hamil normal, atau mengalami keguguran (abortus tuba). Sebagian penderita tidak mengeluhkan keterlambatan haid karena kematian janin terjadi sebelum haid berikutnya. Kadang-kadang pasien merasakan nyeri yang menjalar ke bahu. Hal ini disebabkan iritasi diafragma oleh hemoperitoneum.
Jadi disimpulkan bahwa gejala yang penting:
-          Nyeri perut
-          Amenore
-          Pendarahan pervaginam
-          Syok karena hipovolemik
-          Pembesaran uterus
-          Tumor dalam rongga panggul
-          Perubahan darah
Kehamilan abdominal biasanya baru didiagnosis kalau kehamilan sudah agak lanjut. , antara lain:
-          Pada kehamilan abdominal gejala yang timbul sama dengan tanda kehamilan biasa tetapi pada kehamilan abdominal bisanya pasien lebih enderita karena perangsangan peritoneum, misalnya sering mual, gembung perut, obstipasi atau diare dan nyeri perut sering dikeluhkan.
-          Pada kehamilan abdominal sekunder, mungkin pasien pernah mengalami nyeri perut hebat disertai pusing atau pingsan, yaitu waktu terjadinya rupture tuba.
-          Tumor yang mengandung anak tidak pernah mengeras karena tidak ada kontraksi Braxton Hiks.
-          Pergerakan anak dirasakan dengan nyeri oleh ibu
-          BJA lebih jelas terdengar
-          Bangian anak lebih mudah teraba karena hanya dipisahkan oleh dinding perut ibu
-          Foto rongen, USG abdomen terlihat adanya letak paksa
-          Foto lateral terlihat janin menutupi vertebra ibu
-          Uterus kosong saat dilakukan pemeriksaan dalam
b.      Temuan objektif
Pada kasus-kasus yang dramatis, sering kali pasien datang dalam keadaan umum yang buruk karena syok. Tekanan darah turun dan frekuensi nadi meningkat. Darah yang masuk ke dalam rongga abdomen akan merangsang peritoneum, sehingga pada pasien ditemukan tanda-tanda rangsangan peritoneal (nyeri tekan, nyeri ketok, nyeri lepas, defense musculaire). Bila perdarahan berlangsung lamban dan gradual, dapat dijumpai tanda anemia pada pasien. Hematosalping akan teraba sebagai tumor di sebelah uterus. Dengan adanya hematokel retrouterina, kavum Douglas teraba menonjol dan nyeri pada pergerakan (nyeri goyang porsio). Di samping itu dapat ditemukan tanda-tanda kehamilan, seperti pembesaran uterus.

DIAGNOSIS
-          Diagnosis kehamilan ektopik terganggu tentunya ditegakkan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. KET harus dipikirkan bila seorang pasien dalam usia reproduktif mengeluhkan nyeri perut bawah yang hebat dan tiba-tiba, ataupun nyeri perut bawah yang gradual, disertai keluhan perdarahan per vaginam setelah keterlambatan haid, dan pada pemeriksaan fisik ditemukan tanda-tanda akut abdomen, kavum Douglas menonjol, nyeri goyang porsio, atau massa di samping uterus. Adanya riwayat penggunaan AKDR, infeksi alat kandungan, penggunaan pil kontrasepsi progesteron dan riwayat operasi tuba serta riwayat faktor-faktor risiko lainnya memperkuat dugaan KET. Namun sebagian besar pasien menyangkal adanya faktor-faktor risiko tersebut di atas.
-          Bila pada pemeriksaan ultrasonografi ditemukan kantong gestasi dengan denyut jantung janin dengan kavum uteri yang kosong, maka diagnosis pasti dapat ditegakkan. USG transvaginal dapat mendeteksi tubal ring (massa berdiameter 1-3 cm dengan pinggir ekhogenik yang mengelilingi pusat yang hipoekhoik); gambaran tersebut cukup spesifik untuk kehamilan ektopik. USG transvaginal juga memungkinkan evaluasi kavum pelvis dengan lebih baik, termasuk visualisasi cairan di kavum Douglas dan massa pelvis.
-          Kadar hCG membantu penegakan diagnosis, meskipun tidak ada konsensus mengenai kadar hCG yang sugestif untuk kehamilan ektopik. Kehamilan ektopik dapat dibedakan dari kehamilan normal dengan pemeriksaan kadar hCG secara serial. Pada usia gestasi 6-7 minggu, kadar hCG serum meningkat dua kali lipat setiap 48 jam pada kehamilan intrauterin normal. Peningkatan yang subnormal (< 66%) dijumpai pada 85% kehamilan yang nonviable, dan peningkatan sebanyak 20% sangat prediktif untuk kehamilan nonviable. Fenomena ini, bila disertai dengan terdeteksinya kavum uteri yang kosong, mengindikasikan adanya kehamilan ektopik. Secara klinis, penegakan diagnosis KET dengan pemantauan kadar hCG serial tidak praktis, karena dapat mengakibatkan keterlambatan diagnosis. Selain itu, peningkatan kadar hCG serum dua kali lipat setiap 48 jam tidak lagi terjadi setelah minggu ke-7 kehamilan. Oleh sebab itu, umumnya yang diperiksakan adalah hCG kualitatif untuk diagnosis cepat kehamilan.
-          Selain itu untuk mengetahui adanya cairan didalam cavum Douglas juga dapat digunakan metode kuldosentesis atau Douglas punksi (+/-). Namun dengan adanya USG dan pemeriksaan kadar hCG yang lebih akurat, kuldosentesis sudah tidak terlalu sering dilakukan. Meskipun demikian, tindakan tersebut masih dilakukan bila tidak ada fasilitas USG atau bila pada pemeriksaan USG kantong gestasi tidak berhasil terdeteksi.
-          Kadar progesteron pada kehamilan nonviable memang menurun, namun penurunan kadar progesteron tersebut tidak dapat membedakan kehamilan ektopik dari abortus insipiens.
-          Diagnosis juga dapat ditegakkan secara bedah (surgical diagnosis). Kuretase dapat dikerjakan untuk membedakan kehamilan ektopik dari abortus insipiens atau abortus inkomplet. Kuretase tersebut dianjurkan pada kasus-kasus di mana timbul kesulitan membedakan abortus dari kehamilan ektopik dengan kadar progesteron serum di bawah 5 ng/ml, β-hCG meningkat abnormal (< 2000 mU/mL) dan kehamilan uterin tidak terdeteksi dengan USG transvaginal. Diagnosis secara bedah juga dapat dilakukan dengan laparoskopi dan laparotomi. Laparotomi umumnya dikerjakan bila keadaan hemodinamik pasien tidak stabil.

 


PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan kehamilan ektopik tergantung pada beberapa hal, antara lain lokasi kehamilan dan tampilan klinis. Sebagai contoh, penatalaksanaan kehamilan tuba berbeda dari penatalaksanaan kehamilan abdominal. Selain itu, perlu dibedakan pula penatalaksanaan kehamilan ektopik yang belum terganggu dari kehamilan ektopik terganggu. Tentunya penatalaksanaan pasien dengan kehamilan ektopik yang belum terganggu berbeda dengan penatalaksanaan pasien dengan kehamilan ektopik terganggu yang menyebabkan syok.
Seorang pasien yang terdiagnosis dengan kehamilan tuba dan masih dalam kondisi baik dan tenang, memiliki 3 pilihan, yaitu penatalaksanaan ekspektasi (expectant management), penatalaksanaan medis dan penatalaksanaan bedah.
1.      Penatalaksanaan Ekspektasi
Penatalaksanaan ekspektasi didasarkan pada fakta bahwa sekitar 75% ß-hCG pasien dengan kehamilan ektopik akan mengalami penurunan kadar. Pada penatalaksanaan ekspektasi, kehamilan ektopik dini dengan kadar ß-hCG yang stabil atau cenderung turun diobservasi ketat. Oleh sebab itu, tidak semua pasien dengan kehamilan ektopik dapat menjalani penatalaksanaan seperti ini. Penatalaksanaan ekspektasi dibatasi pada yang keadaan-keadaan berikut:
a) kehamilan ektopik dengan kadar ß-hCG menurun
b) kehamilan tuba
c) tidak ada perdarahan intraabdominal atau rupture
d) diameter massa ektopik tidak melebihi 3.5 cm. Sumber ß-hCG awal harus kurang dari 1000 mIU/mL, sumber lain menyebutkan bahwa kadar  dan diameter massa ektopik tidak melebihi 3.0 cm. Dikatakan bahwa penatalaksanaan ekspektasi ini efektif pada 47-82% kehamilan tuba.

Penatalaksanaan Medis
Pada penatalaksanaan medis digunakan zat-zat yang dapat merusak integritas jaringan dan sel hasil konsepsi. Kandidat-kandidat penerima tatalaksana medis harus memiliki syarat-syarat berikut ini: keadaan hemodinamik yang stabil, bebas nyeri perut bawah, tidak ada aktivitas jantung janin, tidak ada cairan bebas dalam rongga abdomen dan kavum Douglas, harus teratur menjalani terapi, harus menggunakan kontrasepsi yang efektif selama 3-4 bulan pascaterapi, tidak memiliki penyakit-penyakit penyerta, sedang tidak menyusui, tidak ada kehamilan intrauterin yang koeksis, memiliki fungsi ginjal, hepar dan profil darah yang normal, serta tidak memiliki kontraindikasi terhadap pemberian methotrexate. Berikut ini akan dibahas beberapa metode terminasi kehamilan ektopik secara medis.
·         Methotrexate
Methotrexate adalah obat sitotoksik yang sering digunakan untuk terapi keganasan, termasuk penyakit trofoblastik ganas. Pada penyakit trofoblastik, methotrexate akan merusak sel-sel trofoblas, dan bila diberikan pada pasien dengan kehamilan ektopik, methotrexate diharapkan dapat merusak sel-sel trofoblas sehingga menyebabkan terminasi kehamilan tersebut. Seperti halnya dengan penatalaksanaan medis untuk kehamilan ektopik pada umumnya, kandidat-kandidat untuk terapi methotrexate harus stabil secara hemodinamis dengan fungsi ginjal, hepar dan profil darah yang normal.
Harus diketahui pula bahwa terapi methotrexate maupun medis secara umum mempunyai angka kegagalan sebesar 5-10%, dan angka kegagalan meningkat pada usia gestasi di atas 6 minggu atau bila massa hasil konsepsi berdiameter lebih dari 4 cm. Pasien harus diinformasikan bahwa bila terjadi kegagalan terapi medis, pengulangan terapi diperlukan, dan pasien harus dipersiapkan untuk kemungkinan menjalani pembedahan. Selain itu, tanda-tanda kehamilan ektopik terganggu harus selalu diwaspadai. Bila hal tersebut terjadi, pasien harus sesegera mungkin menjalani pembedahan. Senggama dan konsumsi asam folat juga dilarang. Tentunya methotrexate menyebabkan beberapa efek samping yang harus diantisipasi, antara lain gangguan fungsi hepar, stomatitis, gastroenteritis dan depresi sumsum tulang.
Beberapa prediktor keberhasilan terapi dengan methotrexate yang disebutkan dalam literatur antara lain aktivitas jantung janin, ukuran massa hasil konsepsi dan ada/tidaknya cairan bebas dalam rongga peritoneum. Namun disebutkan dalam sumber kadar ß-hCG-lah yang bermakna secara statistik. Untuk memantau keberhasilan terapi, dilakukan pemeriksaan serial beta-hCG. Pemeriksaan dilakukan pada hari-hari pertama setelah dimulainya pemberian methotrexate, 65-75% pasien akan mengalami nyeri abdomen yang diakibatkan pemisahan hasil konsepsi dari tempat implantasinya (separation pain), dan hematoma yang meregangkan dinding tuba. Nyeri ini dapat diatasi dengan analgetik. beta-hCG umumnya tidak terdeteksi lagi dalam 14-21 hari.  setelah pemberian methotrexate. Pada hari-hari pertama pula massa hasil konsepsi akan tampak membesar pada pencitraan ultrasonografi akibat edema dan hematoma, sehingga jangan dianggap sebagai kegagalan terapi. Setelah terapi berhasil ß-hCG masih perlu diawasi setiap minggunya hingga kadarnya di bawah 5 mIU/mL.
Methotrexate dapat diberikan dalam dosis tunggal maupun dosis multipel. Dosis tunggal yang diberikan adalah 50 mg/m2 (intramuskular), sedangkan dosis multipel yang diberikan adalah sebesar 1 mg/kg (intramuskular) pada hari pertama, ke-3, 5, dan hari ke-7. Pada terapi dengan dosis multipel leukovorin ditambahkan ke dalam regimen pengobatan dengan dosis 0.1 mg/kg (intramuskular), dan diberikan pada hari ke-2, 4, 6 dan 8. Terapi methotrexate dosis multipel tampaknya memberikan efek negatif pada patensi tuba dibandingkan dengan terapi methotrexate dosis tunggal 9. Methotrexate dapat pula diberikan melalui injeksi per laparoskopi tepat ke dalam massa hasil konsepsi. Terapi methotrexate dosis tunggal adalah modalitas terapeutik paling ekonomis untuk kehamilan ektopik yang belum terganggu.
·         Actinomycin
Neary dan Rose melaporkan bahwa pemberian actinomycin intravena selama 5 hari berhasil menterminasi kehamilan ektopik pada pasien-pasien dengan kegagalan terapi methotrexate sebelumnya.
·         Larutan Glukosa Hiperosmolar
Injeksi larutan glukosa hiperosmolar per laparoskopi juga merupakan alternatif terapi medis kehamilan tuba yang belum terganggu. Yeko dan kawan-kawan melaporkan keberhasilan injeksi larutan glukosa hiperosmolar dalam menterminasi kehamilan tuba. Namun pada umumnya injeksi methotrexate tetap lebih unggul. Selain itu, angka kegagalan dengan terapi injeksi larutan glukosa tersebut cukup tinggi, sehingga alternatif ini jarang digunakan.

2.      Penatalaksanaan Bedah
Penatalaksanaan bedah dapat dikerjakan pada pasien-pasien dengan kehamilan tuba yang belum terganggu maupun yang sudah terganggu. Tentu saja pada kehamilan ektopik terganggu, pembedahan harus dilakukan secepat mungkin. Pada dasarnya ada 2 macam pembedahan untuk menterminasi kehamilan tuba, yaitu pembedahan konservatif, di mana integritas tuba dipertahankan, dan pembedahan radikal, di mana salpingektomi dilakukan. Pembedahan konservatif mencakup 2 teknik yang kita kenal sebagai salpingostomi dan salpingotomi. Selain itu, macam-macam pembedahan tersebut di atas dapat dilakukan melalui laparotomi maupun laparoskopi. Namun bila pasien jatuh ke dalam syok atau tidak stabil, maka tidak ada tempat bagi pembedahan per laparoskopi.

a. Salpingostomi
Salpingostomi adalah suatu prosedur untuk mengangkat hasil konsepsi yang berdiameter kurang dari 2 cm dan berlokasi di sepertiga distal tuba fallopii. Pada prosedur ini dibuat insisi linear sepanjang 10-15 mm pada tuba tepat di atas hasil konsepsi, di perbatasan antimesenterik. Setelah insisi hasil konsepsi segera terekspos dan kemudian dikeluarkan dengan hati-hati. Perdarahan yang terjadi umumnya sedikit dan dapat dikendalikan dengan elektrokauter. Insisi kemudian dibiarkan terbuka (tidak dijahit kembali) untuk sembuh per sekundam. Prosedur ini dapat dilakukan dengan laparotomi maupun laparoskopi. Metode per laparoskopi saat ini menjadi gold standard untuk kehamilan tuba yang belum terganggu. Sebuah penelitian di Israel membandingkan salpingostomi per laparoskopi dengan injeksi methotrexate per laparoskopi. Durasi pembedahan pada grup salpingostomi lebih lama daripada durasi pembedahan pada grup methotrexate, namun grup salpingostomi menjalani masa rawat inap yang lebih singkat dan insidens aktivitas trofoblastik persisten pada grup ini lebih rendah. Meskipun demikian angka keberhasilan terminasi kehamilan tuba dan angka kehamilan intrauterine setelah kehamilan tuba pada kedua grup tidak berbeda secara bermakna.

b. Salpingotomi
Pada dasarnya prosedur ini sama dengan salpingostomi, kecuali bahwa pada salpingotomi insisi dijahit kembali. Beberapa literatur menyebutkan bahwa tidak ada perbedaan bermakna dalam hal prognosis, patensi dan perlekatan tuba pascaoperatif antara salpingostomi dan salpingotomi.

c. Salpingektomi
Reseksi tuba dapat dikerjakan baik pada kehamilan tuba yang belum maupun yang sudah terganggu, dan dapat dilakukan melalui laparotomi maupun laparoskopi. Salpingektomi diindikasikan pada keadaan-keadaan berikut ini: 1) kehamilan ektopik mengalami ruptur (terganggu), 2) pasien tidak menginginkan fertilitas pascaoperatif, 3) terjadi kegagalan sterilisasi, 4) telah dilakukan rekonstruksi atau manipulasi tuba sebelumnya, 5) pasien meminta dilakukan sterilisasi, 6) perdarahan berlanjut pascasalpingotomi, 7) kehamilan tuba berulang, 8) kehamilan heterotopik, dan 9) massa gestasi berdiameter lebih dari 5 cm. Reseksi massa hasil konsepsi dan anastomosis tuba kadang-kadang dilakukan pada kehamilan pars ismika yang belum terganggu. Metode ini lebih dipilih daripada salpingostomi, sebab salpingostomi dapat menyebabkan jaringan parut dan penyempitan lumen pars ismika yang sebenarnya sudah sempit. Pada kehamilan pars interstitialis, sering kali dilakukan pula histerektomi untuk menghentikan perdarahan masif yang terjadi. Pada salpingektomi, bagian tuba antara uterus dan massa hasil konsepsi diklem, digunting, dan kemudian sisanya (stump) diikat dengan jahitan ligasi. Arteria tuboovarika diligasi, sedangkan arteria uteroovarika dipertahankan. Tuba yang direseksi dipisahkan dari mesosalping.

d. Evakuasi Fimbrae dan Fimbraektomi
Bila terjadi kehamilan di fimbrae, massa hasil konsepsi dapat dievakuasi dari fimbrae tanpa melakukan fimbraektomi. Dengan menyemburkan cairan di bawah tekanan dengan alat aquadisektor atau spuit, massa hasil konsepsi dapat terdorong dan lepas dari implantasinya. Fimbraektomi dikerjakan bila massa hasil konsepsi berdiameter cukup besar sehingga tidak dapat diekspulsi dengan cairan bertekanan.


KOMPLIKASI
Komplikasi yang dapat terjadi yaitu:
- Pada pengobatan konservatif, yaitu bila kehamilan ektopik terganggu telah lama berlangsung (4-6 minggu), terjadi perdarahan ulang, Ini merupakan indikasi operasi.
- Infeksi
- Sterilitas
- Pecahnya tuba falopii
- Komplikasi juga tergantung dari lokasi tumbuh berkembangnya embrio

PROGNOSIS
Kematian karena kehamilan ektopik terganggu cenderung turun dengan diagnosis dini dengan persediaan darah yang cukup. Tetapi bila pertolongan terlambat, angka kematian dapat tinggi. Penderita mempunyai kemungkinan yang lebih besar untuk mengalami kehamilan ektopik kembali. Selain itu, kemungkinan untuk hamil akan menurun. Hanya 60% wanita yang pernah mengalami kehamilan ektopik terganggu dapat hamil lagi, walaupun angka kemandulannya akan jadi lebih tinggi. Angka kehamilan ektopik yang berulang dilaporkan berkisar antara 0 – 14,6%. Kemungkinan melahirkan bayi cukup bulan adalah sekitar 50%.